KOMPONEN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA SERTA
KESEHATAN MASYARAKAT DI SEKITAR PT. CPN
3.3. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya
1)
Jumlah, Kepadatan dan
Penyebaran Penduduk
Rencana
areal kerja PT. CPN
terletak dalam satu wilayah desa dengan jumlah penduduk
sebanyak 4.795
jiwa yang terdiri dari 2.746
laki-laki dan 2.049
perempuan dengan jumlah rumah tangga sebanyak 1.159 KK. Kepadatan
penduduk adalah sebesar 43
jiwa/km2 dan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4 jiwa/KK
sebagaimana disajikan pada Tabel 3.13.
Tabel 3.13. Kondisi Penduduk pada Desa di Sekitar Lokasi Kegiatan.
No.
|
Kecamatan/
Desa
|
Luas
|
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
|
Sex Ratio
|
JumlahKK
|
Jiwa/
|
Kepadatan/
|
||
(Km2 )
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
KK
|
Km2
|
||||
1
|
Desa Kilis
|
111.02
|
2.746
|
2.049
|
4.795
|
0.82
|
1.159
|
4
|
43
|
Jumlah
|
111.02
|
2.746
|
2.049
|
4.795
|
0.82
|
1.159
|
4
|
43
|
Sumber: - Monografi
Desa Muara Kilis, 2012
3.3.2. Struktur Penduduk Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Penduduk di desa
Kilis yang berada disekitar
rencana areal kerja PT. CPN
menunjukkan struktur usia produktif (antara 15 – 55 th) dengan jumlah usia
produktif sebanyak 3.067
jiwa atau 64%
dari total jumlah penduduk, yang terdiri dari 1.789 laki-laki dan 1.278
perempuan. Secara lengkap keadaan penduduk disajikan pada Tabel 2.37.
Tabel 3.14. Struktur
Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin.
No
|
Kecamatan/ Desa
|
Belum Produktif
(0-14
th)
|
Produktif (15-55 th)
|
Tidak Produktif
(> 55th)
|
Total
|
||||||
L
|
P
|
Jumlah
|
L
|
P
|
Jumlah
|
L
|
P
|
Jumlah
|
|||
1.
|
Desa
Kilis
|
770
|
654
|
1.424
|
1.789
|
1.278
|
3.067
|
176
|
128
|
304
|
4.795
|
Jumlah
|
770
|
654
|
1.424
|
1.789
|
1.278
|
3.067
|
176
|
128
|
304
|
4.795
|
Sumber : - Monografi
Desa Muara Kilis, 2012.
3.4. Sosial Ekonomi
3.4.1. Aksesibilitas Wilayah
Rencana
areal kerja pertambangan batubara PT. CPN dapat dijangkau
dengan perjalanan darat melalui jalan negara dengan kondisi badan jalan hot mix
berkualitas baik mempergunakan kendaraan roda empat dari Kota Jambi menuju Desa Muara Kilis dengan waktu
tempuh normal sekitar 4 jam. Sedangkan
untuk mencapai lokasi dari Ibu Kota Kabupaten Tebo, kota Tebo tidak lebih dari
30 menit. Sementara itu aksesibilitas pencapaian lokasi relatif mudah, mengingat
prasarana jalan yang cukup memadai kecuali pada saat musim penghujan hanya kendaraan
tertentu yang masih bisa masuk ke lokasi.
Sarana perhubungan lainnya seperti jaringan telekomunikasi baik telepon
umum maupun pribadi cukup memadai.
3.4.2. Pusat Kegiatan Perekonomian Terdekat
Muara Tebo sebagai Ibu Kota Kabupaten Tebo merupakan pusat
perekonomian terdekat masyarakat sekitar
wilayah studi dengan telah tersedianya toko-toko, pasar, bank dan prasarana
perekonomian lainnya, sehingga baik dari volume maupun jenis barang telah cukup
memadai dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Aksesibilitas relatif mudah
dicapai melalui jalan darat dengan tersedianya sarana transportasi umum.
3.4.3. Mata Pencaharian Penduduk
Sebagian besar masyarakat di sekitar rencana lokasi areal
PT. CPN bermata pencaharian pola nafkah ganda dengan mata pencaharian utama
bertani, yaitu sekitar 42,57 %. Mata pencaharian utama diartikan bahwa curahan
waktu terbanyak dalam melakukan aktivitas rutin dan pokok untuk memperoleh
penghasilan, sedangkan mata pencaharian tambahan berupa sisa waktu luang di
luar kegiatan pokok yang dimanfaatkan untuk memperoleh penghasilan sampingan.
Komoditas pertanian yang dikembangkan khususnya karet dan sawit merupakan jenis
tanaman tahunan unggulan disamping hasil pertanian lainnya seperti palawija
atau tanaman semusim lainnya. Jenis mata pencaharian masyarakat lainnya berupa
pedagang, wirausaha, dan lain-lain sebagaimana disajikan pada Tabel 3.15.
Tabel 3.15. Mata Pencaharian Utama
Kepala Keluarga di Desa-desa di Sekitar Rencana Areal Kerja PT. CPN.
No
|
Kecamatan/
Desa
|
Mata Pencaharian
|
|||||
Tani
|
Swasta/
Wirausaha
|
Buruh Tani/Kebun
|
PNS/ABRI
|
Pedagang
|
Total
|
||
KK
|
KK
|
KK
|
KK
|
KK
|
KK
|
||
1.
|
Desa
Kilis
|
364
|
30
|
305
|
51
|
106
|
856
|
Jumlah (%)
|
42.57
|
3.5
|
35.6
|
6
|
12.33
|
100
|
Sumber : Monografi Desa Tahun 2012.
Gambar 3.11. Mata Pencaharian
Utama Kepala Keluarga pada Desa-desa di Sekitar Rencana Areal Kerja PT. CPN
|
3.5. Sosial Budaya
3.5.1. Agama Penduduk
Masyarakat di sekitar rencana areal kerja PT. CPN
mayoritas beragama Islam meskipun terdapat sebagian kecil yang memeluk agama
lain seperti Kristen dan Hindu. Prasarana peribadatan di masing-masing desa
cukup memadai dengan terdapatnya sarana masjid dan mushola. Toleransi
antar umat beragama terjaga dengan baik sehingga tidak pernah terjadi adanya
benturan-benturan sosial yang berkaitan dengan keagamaan mengingat masyarakat tergolong
pemeluk agama yang taat.
3.5.2. Pendidikan Penduduk
Pada dasarnya, tingkat pendidikan masyarakat salah
satunya terkait dengan ketersedi-aan prasarana dan sarana pendidikan yang
terdapat di wilayah tersebut, disamping kemapanan sosial ekonomi dan animo
masyarakat terhadap pentingnya pendidikan.
Fasilitas pendidikan yang tersedia di sekitar rencana
areal kerja PT. CPN relatif cukup memadai, di setiap desa terdapat bangunan
sekolah dasar (SD) dengan tenaga pengajar (guru) yang cukup. Sedangkan untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan setingkat SLTP dan SLTA harus menempuh ke Tebo
atau Rantau Api dengan aksesibilitas yang mudah dicapai melalui jalan darat.
Tabel 3.16. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Muara Kilis
No.
|
Pendidikan
Terakhir
|
Jumlah
|
1.
|
SD (Sekolah Dasar)
|
643 Orang
|
2.
|
SMP (Sekolah Menengah Pertama)
|
251 Orang
|
3.
|
SMA (Sekolah Menengah Atas)
|
47 Orang
|
4.
|
Sarjana
|
11 Orang
|
5.
|
Tidak Sekolah
|
48 Orang
|
Gambar 3.12. Pendidikan terakhir
penduduk Desa Muara Kilis
|
1.5.3.
Tatanan Kelembagaan dalam
Masyarakat
Koentjaraningrat
(1984), menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial adalah suatu sistem
tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk
memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk
memenuhi kebutuhan. Polak dalam
Kolopaking et al (2003), Kelembagaan sosial atau social institution adalah “ suatu kompleks atau sistem
peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang
penting”. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang
diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.
Kelembagaan formal masyarakat di sekitar lokasi kegiatan
telah terbentuk sejak lama lengkap dengan lembaga-lembaga formal lainnya,
antara lain LPM dan BPD. Kelembagaan
adat juga terbentuk sejak lama yang sangat berperan dalam membantu lajunya
pemerintahan formal. Selain tokoh formal terdapat pula tokoh informal yang
dituakan biasanya merupakan panutan masyarakat yang pengaruhnya cukup besar
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Tokoh informal ini terbentuk dengan
sendirinya tanpa adanya penunjukkan atau pemilihan khusus dan biasanya muncul
berdasarkan pengakuan masyarakat yang tumbuh secara perlahan.
Peran tokoh informal sangat berpengaruh khususnya dalam
penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat karena keberadaannya
dianggap sebagai panutan yang bersifat kekeluargaan atau kekerabatan.
Keberadaan tokoh formal umumnya diangkat dan dipilih oleh masyarakat dan
berasal pula dari kalangan tokoh informal, sehingga dalam aktivitas
kesehariannya berperan ganda baik sebagai petugas pemerintahan maupun sebagai
amanah/tugas kekerabatan dan adat istiadat masyarakat setempat.
Cukup banyak diantara tokoh informal merangkap sekaligus
sebagai tokoh formal seperti kepala dusun, tergantung kehendak masyarakat yang
menentukannya. Kondisi demikian sangat menguntungkan terutama dalam memberikan
inovasi-inovasi baru maupun dalam penyelesaian permasalahan yang mungkin
timbul.
Adanya
kelembagaan sosial tersebut berfungsi sebagai pedoman berperilaku kepada
individu atau masyarakat, menjaga keutuhan sesama masyarakat, memberi pegangan
kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control), dan memenuhi kebutuhan pokok manusia atau
masyarakat.
1.5.4.
Adat Istiadat
Adat
istiadat masyarakat di sekitar areal umumnya telah mengalami pergeseran,
meskipun terdapat kebiasaan-kebiasaan yang masih dipegang teguh khususnya yang
berkaitan dengan keagamaan. Pergeseran tersebut diantaranya diakibatkan oleh
cukup banyaknya masyarakat pendatang antara lain dari suku Jawa, Sunda, Minang,
Batak dll. Meskipun banyak suku pendatang di lingkungan sekitar areal, penduduk
asli Jambi dapat hidup rukun tanpa adanya benturan-benturan sosial yang
berarti. Banyak diantara masyarakat asli yang menikah dengan pendatang,
sehingga kerukunan antar warga dapat terjalin dengan baik. Secara sepintas,
cukup sulit membedakan mana penduduk asli dan masyarakat pendatang karena
banyak diantara masyarakat penda-tang yang telah berdomisili lebih dari 10
tahun. Adat istiadat yang masih dipertahankan antara lain berkaitan dengan
kelahiran bayi, kematian dan upacara pernikahan.
Jambi merupakan
salah satu wilayah yang mempunyai masyarakat adat, beberapa kalangan
menyebutnya dengan masyarakat Kubu, atau masyarakat anak dalam, atau Orang
Rimba, namun yang lebih terdengar dalam kalangan masyarakat nasional adalah
suku anak dalam yang terdabat di provinsi Jambi ini, dan keberadaannya tersebar
di beberapa kabupatan yang ada.
Kabupaten Tebo merupakan salah satu
area komunitas Suku Anak Dalam (SAD) khususnya yang terdapat di areal
konservasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Terdapat tiga kelompok SAD
di wilayah ini diantaranya yang dikenal juga dengan Suku Talang Mamak (Suku
Kubu/Orang Rimba). Data yang ada menunjukkan terdapat 823 jiwa SAD di Kabupaten
Tebo (Tabel 3.17).
Tabel 3.17. Jumlah SAD Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Kabupaten
No.
|
Kabupaten/ Kota
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
|||
1
|
Sarolangun
|
537
|
558
|
1.095
|
2
|
Merangin
|
439
|
419
|
858
|
3
|
Batang Hari
|
40
|
39
|
79
|
4
|
Tanjung Jabung Barat
|
31
|
26
|
57
|
5
|
Tebo
|
420
|
403
|
823
|
6
|
Bungo
|
143
|
143
|
286
|
|
Jumlah
|
1.610
|
1.588
|
3.198
|
Sumber: Website
BPS Kabupaten Sarolangun,( 2011)
1.5.5.1. Potret Suku Anak Dalam
Desa Muara Kilis Kecamatan Tengah Ilir
Kabupaten Tebo termasuk merupakan salah
satu kawasan pemukiman Suku Anak Dalam. Pemerintah Pusat melalui Kementerian
Sosial dan Transmigrasi bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jambi dan
Pemerintah Kabupaten Tebo sangat
memperhatikan kehidupan Suku Anak Dalam (SAD). Hingga 2010 komunitas SAD sudah
mendapatkan pembinaan hingga beberapa dari mereka sudah memiliki rumah yang
tetap dan layak huni yang dibangun pemerintah di antaranya di Sungai Inoman Desa Mara Kilis Kecamatan
Tengah Ilir Kabupaten Tebo. Pemukiman SAD yang dibangun oleh Kementerian Sosial
Republik Indonesia melaui Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
Tahun 2010 terdiri atas 55 KK atau 161 warga Suku Anak Dalam.
Kehidupan komunitas SAD yang sudah
mulai berinteraksi dengan masyarakat desa, pada umumnya adat istiadat mereka
sudah mulai memudar karena sudah berasimilasi dengan masyarakat desa sering berinteraksi dengan masyarakat
terdekat, kehidupannya tidak sepenuhnya tergantung dari hasil hutan, mereka
sudah berladang, berkebun karet, sawit, dan sudah menerima pendidikan. Sebagian
komunitas SAD ini telah mengenal
kehidupan modern, kelompok ini telah menggunakan busana lengkap, beberapa warga
telah memiliki sepeda motor, HP, untuk bidang kesehatan warga SAD telah
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan pada Pustu, Puskesmas dan RSUD.
Komunitas Suku
Anak yang hidup semi-nomaden, memiliki kebiasaan berpindah
dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, “melangun” atau pindah ketika
ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba
tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan,
berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal. Mereka sehari-harinya
tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia
dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu,
dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan
mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa. Putusnya
hubungan dengan peradaban di luar rimbalah yang membuat Orang Rimba selalu
disebut kubu alias terbelakang, sedangkan kelompok lain lebih maju. Karena
terputus hubungan dengan peradaban di luar rimba, cara hidup mereka kubu.
Menurut mereka, seringkali orang terang (di luar rimba) mencemooh karena
anggapan bahwa mereka bodoh, tidak beradab, dan kudisan. Meski demikian, mereka
merasa nyaman, dan akan mempertahankan cara hidup seperti itu. “Tidak
lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh,” Namun, Orang Rimba juga merasa terhina jika disebut-sebut kubu.
1.5.5.2.
Karakteristik Suku
Anak Dalam
Identitas Orang
Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang sebutan untuk
masyarakat di desa. Mereka membuat seloka tentang orang terang : berpinang gayur/berumah tanggo/berdusun
beralaman/beternak angso. Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba.
Mereka menyebutnya seloka adat. Seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang
Rimba: Bertubuh onggok/berpisang cangko//beratap
tikai//berdinding baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu. Ada lagi: berkambing kijang//berkerbau tenu//bersapi
ruso.
Aturan Rimba
sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika
dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu
dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba
berusaha untuk mematuhi.
Komunitas Suku Anak Dalam pada umumnya
mempunyai kepercayaan terhadap dewa. Mereka juga mempercayai roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib.
Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka
menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka
melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mentera yang memiliki
kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. “Hidup beranyam
kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding
banir, balantai tanah yang berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin
bapanghulu”. Artinya: Mereka (Suku Anak Dalam)
mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus
berumah beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman
tertentu, karena mereka telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai
pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar
adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko
adatnya : “Di bawah idak
berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat
diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam
melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan
menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.
1.5.5.3. Mata
Pencaharian Komunitas Suku Anak Dalam
Meramu adalah mencari dan mengumpulkan
hasil hutan, seperti: getah melabui, getah jelutung, getah damar, getah
jernang, dan rotan. Mereka menyebut kegiatan ini berkinang atau berimbo.
Caranya dengan beranjau, yaitu
berjalan-jalan atau melakukan pengembaraan. Menemukan sesuatu yang dicari,
apakah itu getah melabui, getah jelutung, dan atau rotan adalah sesuatu yang
sangat erat kaitannya dengan tuah (keberuntungan). Hal itu disebabkan banyaknya
jenis pohon, sehingga seringkali menutupi pohon yang dicari (tidak terlihat).
Relatif sulit dan atau mudahnya menemukannya itulah yang kemudian membuahkan
adanya semacam kepercayaan bahwa pohon-pohon tersebut mempunyai kekuatan gaib.
Berkinang atau berimbo biasanya
dilakukan secara berkelompok (lebih dari satu orang) dan biasanya dilakukan
oleh laki-laki. apabila di dalam hutan ada yang terpisah atau tertinggal, maka
orang yang ada di depan akan memberi tanda dengan menancapkan sebatang kayu
yang pada bagian atasnya dibelah dan diselipkan ranting atau saat ini kulit
rokok. Pangkal ranting diarahkan ke suatu tempat yang akan dituju. Dengan
demikian, orang yang ada di belakangnya akan tahu persis kemana harus
menyusulnya. Jika ranting itu tidak disisakan daunnya, maka penyelipannya
dilakukan agak miring ke atas. Bagian pangkal ranting yang miring ke atas
itulah yang memberi petunjuk ke arah mana seseorang harus menyusulnya.
Cara yang mereka lakukan dalam
mengambil atau mengumpulkan berbagai macam getah tidak jauh berbeda dengan pengumpulan
getah karet, yaitu ditoreh sedemikian rupa sehingga getahnya keluar dan
ditampung pada suatu tempat (biasanya tempurung kelapa). Sedangkan, cara mereka
mengambil rotan adalah dengan menariknya. Dalam hal ini batang rotan yang telah
dipotong pangkalnya ditarik melalui cabang pepohonan. Ini dimaksudkan agar ruas
dan cabang-cabang kecilnya tertinggal atau jatuh karena tergesek cabang
pepohonan, sehingga tidak banyak tenaga yang harus dikeluarkan pada saat
membersihkannya.
B.
Berburu
Senjata yang mereka gunakan dalam berburu adalah tombak. Ada dua jenis tombak yang mereka miliki. Pertama, tombak yang panjangnya kurang lebih setinggi orang dewasa dan bagian mata tombaknya ber-berangko (diberi sarung). Tombak jenis ini oleh mereka disebut kujur berongsong. Cara menggunakannya adalah dengan memegang bagian tengahnya, kemudian dilemparkan (dengan satu tangan) ke sasaran. Kedua, tombak yang panjangnya hampir mencapai 3 meter. Di ujung tombak ini ada semacam pisau yang runcing yang kedua sisinya tajam (bentuknya lebih lebar dan lebih pendek daripada tombak jenis yang pertama). Cara mempergunakannya adalah tangan kanan memegang pangkalnya, kemudian tangan kiri menopangnya, baru dilemparkan ke arah sasaran (arahnya selalu ke arah kiri). Kedua jenis tombak tersebut matanya terbuat dari logam (besi) dan batangnya terbuat dari kayu tepis. Kayu ini disamping berserat, tetapi juga keras dan lurus, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai batang tombak. Tombak biasanya digunakan berburu nangku (babi hutan), kera, rusa (kancil), napu, kijang (menjangan). Sebagai catatan, binatang-binatang tersebut terkadang ditangkap dengan cara penjeratan. Untuk berburu berbagai binatang tersebut biasanya mereka pergi daerah-daerah sumber air, karena kawanan binatang biasanya berdatangan kesana untuk suban (minum).
Selain tombak mereka juga menggunakan
batang pohon yang berukuran sedang dan berat (garis tengahnya kurang lebih 30
cm), khususnya untuk menangkap gajah. Batang pohon tersebut dipotong sepanjang
kurang lebih 10 meter, kemudian salah satu ujungnya diruncingi. Sedangkan,
ujung lainnya diikat dengan rotan. Selanjutnya, digantung diantara pohon yang
besar dengan posisi bagian yang runcing ada di bawah, dengan ketinggian kurang
lebih 5 meter dari permukaan tanah. Rotan yang digunakan untuk mengikat salah
satu ujung batang tadi dibiarkan menjulur sampai ke tanah. Maksudnya, jika ada
gajah yang menginjak atau menariknya, maka gajah tersebut akan tertimpa atau
kejatuhan batang kayu yang runcing itu. Sistem ini juga digunakan untuk
menangkap harimau. Oleh karena itu, perangkap ini ditempatkan pada daerah yang
biasa dilalui oleh gajah dan atau harimau. Perangkap ini oleh mereka disebut
pencebung. Gajah juga dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap yang berupa
lubang yang cukup dalam dan ditutup dengan ranting serta daun-daunan.
Sementara, untuk menangkap badak, mereka membuat parit yang panjangnya 10--15
rentangan tangan orang dewasa (depa). Parit yang lebarnya kurang lebih 1 meter
ini semakin ke ujung semakin dalam (kurang lebih setinggi manusia dewasa).
Dengan demikian, jika ada badak yang memasukinya, maka ia akan terperangkap
karena tidak dapat meloncat atau berbalik.
Kemampuan dan ketrampilan Orang Rimba
berburu berlanjut hingga kini. Pada beberapa tempat di wilayah Napal Putih
dijumpai beberapa kelompok Orang Rimba dengan menenteng senjata rakitan
”kecepek” berburu babi. Menurut keterangan warga, komunitas ini merupakan Orang
Rimba yang berasal dari Bungo, dipekerjakan oleh seseorang pemilik modal untuk
berburu babi guna diambil dagingnya untuk dijual.
Kegiatan lainnya
yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup adalah menangkap berbagai
jenis ikan, termasuk udang dan ketam di sungai, dengan peralatan: pancing,
jala, tombak, perangkap ikan (kubu-kubu), dan pagar-pagar ikan. Terkadang
mereka nubo, yaitu menggunakan racun dari akar-akar nubo. Caranya akar-akar
tersebut dimasukkan ke sungai, maka ikan akan mabuk dan terapung. Dengan
demikian, tinggal mengambil dan memasukkannya ke sebuah wadah yang disebut
dukung atau ambung.
Sistem perladangan
yang diterapkan oleh Orang Rimba adalah berpindah-pindah. Ada 3 faktor yang
menyebabkan mereka melakukan perpindahan, yaitu: pergantian musim, semakin
langkanya binatang buruan dan hasil sumber hutan lainnya, dan semakin tidak
suburnya tanah garapan. Selain itu, kematian juga merupakan faktor yang pada
gilirannya membuat mereka berpindah tempat. Hal ini yang erat dengan
kepercayaan bahwa kematian adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kesialan bagi
kelompoknya. Untuk menghindari hal itu, maka mereka melakukan perpindahan. Dan,
perpindahan yang disebabkan oleh adanya kematian disebut ”melangun”.
Berladang adalah suatu proses. Sebagai
suatu proses maka mesti dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Ada
empat tahap yang mereka lalui dalam penggarapan sebuah ladang. Tahap yang
pertama adalah pembukaan ladang.
Kegiatan yang
dilakukan dalam tahap ini meliputi penebasan pepohonan kecil, semak belukar,
dan mengumpulkan tebasan ke tengah areal yang akan dijadikan sebagai ladang.
Kemudian, membiarkannya selama kurang lebih dua minggu (14 hari) agar tebasan
menjadi kering. Oleh karena itu, tahap yang pertama ini sering disebut sebagai
menebas.
Tahap yang kedua
adalah penebangan pepohonan. Peralatan yang digunakan hanya berupa parang dan
beliung. Jika pohon yang akan ditebang relatif besar, maka penebangan dilakukan
pada bagian atas pohon dengan yang lingkarannya relatif lebih kecil ketimbang
bagian bawah pohon. Caranya adalah dengan mendirikan semacam panggung, sehingga
mudah melakukannya. Jika pohonnya sedang-sedang saja, maka penebangannya cukup
berdiri di atas tanah. Penebangan berbagai pohon, baik besar maupun sedang,
tidak sampai pada pangkalnya, karena disamping tentunya pangkal batangnya lebih
besar, tetapi yang lebih penting menurut kepercayaan mereka hal itu tidak boleh
dilakukan (dilarang nenek moyang). Makna simbolik yang ada dibalik larangan itu
adalah kelestarian. Artinya, apa saja yang ada di hutan tidak boleh dihabiskan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tonggak-tonggak batang pohon mewarnai
ladang mereka. Pohon-pohon yang telah tumbang pada saatnya akan dibakar bersama
semak belukar. Pembakaran tersebut bertujuan disamping agar tidak mengganggu
tahap berikutnya, tetapi yang lebih penting adalah abunya dapat lebih
menyuburkan lahan.
Tahap yang ketiga
adalah penanaman bibit. Sistem yang digunakan adalah tugal, dengan cara dua
atau tiga orang laki-laki memegang sebatang kayu kecil yang kira-kira
panjangnya 1,5 meter yang salah satu ujungnya runcing. Dengan tongkat itu
mereka bergerak ke depan, membuat lubang-lubang yang dangkal. Sementara, dengan
jumlah yang sama, perempuan mengikutinya sambil menebarkan bibit. Setiap lubang
kurang lebih berisi 4-5 butir bibit. Sedangkan, anak-anak bertugas menutup
lubang-lubang yang telah terisi oleh bibit. Jika segala sesuatunya lancar
(setelah penanaman ada hujan), maka maka bibit tersebut akan tumbuh dalam waktu
4 atau 5 hari, sehingga 6 minggu kemudian, mereka dapat melakukan penyiangan
(membersihkan rerumputan yang mengganggunya). Penyiangan dilakukan lagi pada
bulan kedua. Dan, pondok ladang pun didirikan untuk menjaga tanaman dari
berbagai serangan binatang liar atau burung.
Tahap keempat (terakhir) adalah menuai. Tahap ini dilakukan
setelah padi menguning (kurang lebih setelah berumur 5 bulan). Caranya, padi
yang telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang disebut tuai
(ani-ani). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Sebelum
disimpan dalam lubung, padi tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa tahan lama
(pepeng).
Masyarakat Suku
Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak
dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk tinggal
bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti
kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika
terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki
akan mengikuti kelompok dari istrinya. Hingga tahun 2006, paling sedikit
terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan
menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih
tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Susunan organisasi sosial pada
masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
(a)
Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat.
(b)
Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika
berhalangan
(c)
Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan
tumenggung
(d)
Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
(e)
Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adat
(f)
Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adat
(g)
Debalang Batin, Pengawal Tumenggung
(h)
Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi
sidang adat dan
dapat membatalkan keputusan
Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak
bersifat mutlak. Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan
Tumenggung sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian
besar menyetujui maka orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan melalui
pertemuan adat dalam suatu upacara.
Jabatan Tumenggung
yang terlihat punya kekuasaan cukup besarpun masih dibatasi oleh beberapa
jabatan lain seperti jabatan Tengganas yang mampu membatalkan keputusan
Tumenggung. Ini menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam telah mengenal suasana
demokrasi secara sehat.
1.5.5.5. Persepsi dan
Kepercayaan Komunitas Suku Anak Dalam tentang Hutan.
Hutan diistilahkan
oleh mereka dengan rimba/ rimbo. Konsep
mereka “idup awak begantung jan rimbo”
menunjukan bahwa hidup mereka tidak dapat dipisahkan dengan rimba. Masyarakat SAD hingga kini
sebagian besar masih menganut faham animisme yang percaya pada roh-roh yang
berasal dari hutan, air, gunung, tanah, langit, binatang, kayu-kayuan dan
lain-lain yang dapat memberikan keberuntungan dan keselamatan jiwa. Mereka juga
percata bahwa hutan, bukit/gunung, tanah dan langit dan lain-lain ada
penunggunya seperti : hantu, dukun hantu,
dewa/hantu tanah, jumalang tanah, jin setan, bandan, batak biota, mambang peri,
beruang langit, datok, ninik datok dan lain-lain. Karena itu pula,
masyarakat tradicional ini menjaga dan melestarikan sebagian hutan bahkan
memujanya.
Komunitas ini juga
memiliki norma-norma yang mengatur bahwa ada hutan yang dapat dibuka dan tidak
dapat dibuka. Kaitannya dengan lingkungan, hutan-hutan yang dianggap keramat
sebenarnya berfungsi untuk mencegah banjir jika musim hujan dan kekeringan jika
musim kemarau dan juga tempat reproduksinya berbagai hewan yang sebagian
merupakan sumber protein bagi mereka. Kaitannya dengan ekonomi, sosial dan
budaya bahwa hutan nerupakan sumber mata pencaharian, tempat bersemayamnya
roh-roh, jin, setan, hantu, tempat meminta penyembuhan penyakit dan kedamaian hidup.
Dalam pengelolaan
sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh
Peranok-on, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah
merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai
sistem suksesi sumberdaya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka,
diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang , ubi
jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan
ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka.
Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti
menjadi belukor.
Belukor disini
meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman
buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka yang diantaranya
adalah durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat,
tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu
Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan
tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal
(daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan)
dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki
fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai
sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan
berisil) juga berperan sebagai tanoh peranok-on. Tanah peranok-on merupakan
tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih
fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau
kebun., karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi/anaknya.
Tanoh peranok-on yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat
permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya
waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar
dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba. Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba
menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi
rimba, merupakan warisan budaya mereka.
PT. CPN yang mengarah ke wilayah HP. Mereka hidup dari
usahatani berkebun karet, meskipun masih bersifat tradisional s/d semi
intensif. Meskipun kebiasaan hidupnya masih bersifat nomaden, namun sudah mulai
mengarah kepada ke gaya hidup menetap dengan membuat tempat pemukiman yang
sederhana.
Pada dasarnya suku anak dalam tersebut telah
bersosialisasi dan beirnteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Dalam
kegiatannya, PT. CPN senantiasa akan
melindungi dan membina masyarakat suku anak dalam tersebut, karena merupakan
salah satu bagian dari pengelolaan lingkungan disamping juga mata
pencahariannya sepenuhnya tergantung dari lahan usahatani yang ada. Pembinaan suku anak dalam diantaranya dengan
kegiatan pemberdayaan masyarakat (CD) melalui program-program corporate social
responsibility (CSR), yaitu berupa salah satu program tanggungjawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya. Di dalam areal ini tidak ditemukan
adanya situs-situs budaya atau sisa peninggalan sejarah masa lalu.
1.5.6. Hak Ulayat
Masyarakat di sekitar areal mangakui adanya hak-hak atas
tanah di sekitar wilayahnya termasuk areal yang ada di dalam wilayah konsesi
PT. CPN, namun bukan berarti hak atas tanah tersebut berupa hak ulayat yang
dikuasai secara umum dan diatur secara adat. Hak atas tanah yang ada berupa
tanah keluarga atau tanah warisan dari generasi terdahulu yang statusnya hanya
bisa dipindahtangankan dengan cara tertentu antara lain dengan dijual beli.
Apabila lahan yang telah dibuka dan ditanami, kemudian
ditinggalkan menjadi belukar, tidak dapat diambil alih begitu saja secara
langsung oleh pihak lain. Jika ada pihak lain baik perorangan maupun badan
hukum tertentu yang akan menggunakan lahan tersebut untuk dikelola, maka
kedudukannya sebagai peminjam atau dengan cara-cara tertentu melalui
kesepakatan misalnya diganti rugi, bagi hasil atau kerja sama tertentu maupun
melalui kompensasi lainnya. Sedangkan hak ulayat yang dimaksud oleh masyarakat
setempat adalah hak atas lahan termasuk kawasan hutan yang dikuasai oleh
masyarakat, sehingga apabila akan dilakukan kegiatan usaha atau dikelola maka
harus melalui ijin kepada pemerintahan formal desa maupun kepada tokoh informal
masyarakat setempat dengan kesepakatan sistem kompensasi tertentu antara
masyarakat dengan pengelola atau perusahaan.
1.5.7. Struktur Sosial
Mengacu
pada defenisi
David B. Gruskay (dalam Outwaite, 2008), pembahasan struktur sosial dipusatkan
pada hubungan antar orang-orang dan susunan keoranisasian orang-orang
(masyarakat) tersebut. baik antara orang rimba (suku anak dalam) dengan
masyarakat desa, pemerintah juga pihak perusahaan batu bara yang nanti akan
memanfaatkan sumberdayanya tersebut. juga yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana peranan (hubungan) dengan Akademisi serta Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang ada di tingkat Kecamatan maupun tingkan kabupaten-Provinsi.
Sehingga terjadinya interaksi sosial yang diawali
oleh para pemimpin atau orang yang sangat berpengaruh. Menurut Kartodirdjo
(1984), akibat interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan
faktor situasional akan menghasilkan pemimpin. Secara terperinci lagi bahwa
kepemimpinan adalah pertemuan antar
berbagai faktor yang diantaranya adalah : (1) Sifat golongannya, (2)
Kepribadian dan (3) Situasi atau kejadian. Ketiga faktor itu menunjukan sifat
multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologis,
sosiologis-antropologis, dan sosial-historis.
Suatu
struktur sosial pada dasarnya adalah hubungan dua pihak atau dyadic relationship yang dapat diamati
oleh pihak-pihak yang berinteraksi (mereka yang bertutur makna atau
berkomunikasi) maupun pihak yang tidak terlibat didalamnya (apa yang diamati
dari relasi tersebut diamakan interaksi). Bila hubungan dyadic melibatkan pihak ketiga, maka hubungan itu akan meningkat
menjadi hubungan triadic dan
seterusnya hingga menjadi hubungan poliadic
yang meluas menjadi struktur yang lebih kompleks. Integrasi yang kuat antara
komunikasi dan interaksi memungkinkan terbentuknya struktur sosial yang kuat
(Utomo dan Murtanto, 2003). Soekanto (1995) menyimpulkan bahwa struktur sosial
merupakan jaringan unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur
sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur tersebut mencakup kelompok
sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan
wewenang.
a.
Struktur Komunal
Penduduk di sekitar areal mayoritas bermata pencaharian
utama dari bertani, baik bertani tanaman keras seperti karet/sawit maupun
tanaman semusim seperti palawija dan padi ladang. Maka dengan kondisi tersebut,
sebagian besar penduduk mempunyai profesi sebagai petani, sehingga secara
struktural sudah merupakan keharusan bahwa posisi petani dalam sektor pertanian
menjadi fokus utama dalam pengambilan kebijakan. Namun meskipun sektor
pertanian mendominasi masyarakat di sekitar areal, kondisi sosialnya masih menunjukan
struktur masyarakat komunal. Umumnya masyarakat di sekitar areal studi masih
mencerminkan kesatuan masyarakat yang relatif kecil dan cenderung homogen yang
ditandai oleh pembagian kerja yang minimal, hubungan sosialnya masih bersifat
primer dan terikat cukup kuat oleh tradisi atau kebiasaan adat budaya dengan
norma lokalnya. Hubungan sosial yang ada di masyarakat cenderung bercorakkan
atas dasar ikatan ketetanggaan, kekerabatan, keagamaan dan kekuasaan atau
budaya ketimbang corak dalam struktur pasar.
Sistem pola pertanian masyarakat di sekitar areal sudah
mulai berkembang kearah pertanian intensif. Demikian pula di bidang
pemerintahan dan pembangunan, sudah mulai menampakkan pengaruh dalam pengaturan
sumber daya.
b.
Pelapisan Sosial
Pola hubungan sosial masyarakat pada desa-desa di sekitar
areal menggambarkan jalinan patron-klien yang relatif tidak begitu dominan,
terkait dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan
pengaruh dan potensi yang dimilikinya untuk mengakomodir perlindungan kepada
seseorang yang berstatus lebih rendah (klien).
Dari segi ekonomi keluarga berdasarkan parameter
pendapatan, menunjukkan bahwa hampir tidak terjadi kesenjangan yang dominan
yang menggolongkan status kaya dan miskin, kecuali di Kelurahan Kampung Baru,
Simpang Terusan dan Sridadi yang sudah mulai menampakkan kearah tersebut.
Meskipun demikian dalam pola hubungan sosial budaya, patron-klien di desa-desa
sekitar areal masih cukup kental, dimana hubungan sosial budaya demikian dari
perspektif ilmu sosial biasa disebut dengan budaya paternalistik.
Peran tokoh baik formal maupun informal/elite dalam
masyarakat desa adalah sangat dominan dalam hubungan sosial maupun dalam ranah
politik yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dalam pemerintahan desa maupun
kemasyarakatan. Elite tersebut
diantaranya elite adat, agama, pemerintahan dan kaum intelektual. Sedangkan elite ekonomi meskipun belum
muncul, namun sudah mulai menampakkan kearah tersebut.
1.5.3.
Persepsi Masyarakat
Pada umumnya bahwa masyarakat
menilai postitif terhadap pemanfaatan sumberdaya alam (eksploitasi batu bara)
di wilayahnya karena di samping akan menambah mafkah rumah tangga karena bisa
membuka kran sumber-sumber nafkah baru seperti jualan kelontong di pinggir
perusahaan atau kantin yang tentunya harus di tata oleh pihak perushaan
nantinya agar nilai estetika itu ada.
Ketika TIM AMDAL melaksanakan
shering pendapat dengan masyarakat di Desa
Kilis,
masyarakat meminta agar nantinya di buatkan jalan beraspal (pengerasan) serta tidak
terjadi polusi udara yang di akibatkan oleh Dump_truk
yang keluar masuk perusahaan yang umumnya melintasi perumahan masyarakat.
Serta
tidak lupa mengutamakan tenaga lokal dalam menerima karyawan di perusahaan
nantinya. Terjalinnya komunikasi antara desa-suku anak dalam-perusahaan yang
tentunya di pasilitasi oleh pemerintah harus terus dijaga agar segala keinginan
dan harapan kedua-belah
pihak tidak tersumbat.
1.6. Komponen Kesehatan Masyarakat
a. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah masalah yang berhubungan
dengan kesehatan lingkungan, menyangkut masalah penyediaan air bersih masalah
sampah dan pembuangan tinja. Sanitasi lingkungan berkaitan masalah pemukiman,
penggunaan air, dan pembuangan limbah rumah tangga. Pembuangan air dari
berbagai sumber mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan. Air adalah
mutlak untuk kehidupan. Jika kualitas airnya tidak diperhatikan, maka air dapat
menjadi penyebab penyakit. Banyak penyakit menular bersumber pada air adalah
Typhoid, disentri, dan kolera. Penyakit lain yang disebabkan atau melalui air,
misalnya penyakit jamur, cacing perut, radang mata, dan lain-lain. Keperluan
akan air di desa-desa sekitar lokasi pada umumnya dicukupi dari air sumur.
b. Angka Kesakitan
Penyakit yang sering di derita masyarakat di sekitar
lokasi, umumnya berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat itu sendiri. Selain
gangguan pada pencernaan (diare/disentri), penyakit kulit, Demam, Infeksi Saluran
Pernafasan juga banyak penderita penyakit malaria. Kondisi ini memungkinkan sekali mengingat
lingkungan masyarakat sekitarnya yang berdekatan dengan genangan air termasuk
sungai atau daratan tergenang.
c.
Pelayanan Kesehatan
Pada dasarnya prasarana kesehatan di desa-desa sekitar areal pembangunan pertambangan
batubara PT. CPN relatif cukup memadai dengan telah terdapatnya Puskesmas
dan Puskesmas Pembantu. Tabel 2.27.
menyajikan banyaknya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di desa-desa sekitar
lokasi kegiatan.
1.7. Komponen Ruang dan Transportasi
3.7.1. Tataguna Lahan
Berdasarkan Peta PenggunaanLahan yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal,
penggunaan lahan di lokasi kegiatan sebagian besar adalah lahan kebun campuran rakyat, kebun karet dan sebagian kecil merupakan belukar/hutan. Di areal rencana kegiatan Pilot Mine Area, sebagian besar penggunaan lahan
adalah merupakan Kebun Campuran Rakyat dan Kebun Karet Rakyat yang telah
dikelola secara semi intensif. Dari total luas desa 2.250 ha seluas 1.791ha (80 %) merupakan kebun campuran rakyatdan 380
ha (17%) merupakan kebun karet serta 78,5 ha (3%) merupakan belukar, (lihat lampiran Peta Penggunaan Lahan). Peta Penggunaan lahan wilayah studi pada Tahun 2012 disajikan pada Gambar 3.14.
Tabel 3.17. Penggunaan Lahan Di Areal
Konsesi PT.CPN
No
|
Tata Guna Lahan
|
Luas
|
%
|
1
|
Belukar
|
78,575
|
3%
|
2
|
Kebun campur rakyat
|
1.791,293
|
80%
|
3
|
Perkebunan karet perusahan
|
380,132
|
17%
|
|
|
2.250,000
|
100%
|