Monday 16 March 2015

PT CPN



 

3.3. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya

1)      Jumlah, Kepadatan dan Penyebaran Penduduk
Rencana areal kerja PT. CPN terletak dalam satu wilayah desa dengan jumlah penduduk sebanyak 4.795 jiwa yang terdiri dari 2.746 laki-laki dan 2.049 perempuan dengan jumlah rumah tangga sebanyak 1.159 KK. Kepadatan penduduk adalah sebesar 43 jiwa/km2 dan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4 jiwa/KK sebagaimana disajikan pada  Tabel 3.13.
Tabel 3.13.    Kondisi Penduduk pada Desa di  Sekitar Lokasi Kegiatan.
No.
Kecamatan/ Desa
Luas
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Sex Ratio
JumlahKK
Jiwa/
Kepadatan/
(Km2 )
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
KK
Km2
1
Desa Kilis
111.02
2.746
2.049
4.795
0.82
1.159
4
43
Jumlah
111.02
2.746
2.049
4.795
0.82
1.159
4
43
Sumber:   - Monografi Desa Muara Kilis, 2012

3.3.2. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
 Penduduk di desa Kilis yang berada disekitar rencana areal kerja PT. CPN menunjukkan struktur usia produktif (antara 15 – 55 th) dengan jumlah usia produktif sebanyak  3.067 jiwa atau 64% dari total jumlah penduduk, yang terdiri dari 1.789 laki-laki dan 1.278 perempuan. Secara lengkap keadaan penduduk disajikan pada Tabel 2.37.

Tabel 3.14. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin.
No
Kecamatan/ Desa

Belum Produktif
 (0-14 th)
Produktif (15-55 th)
Tidak Produktif
(> 55th)
Total
L
P
Jumlah
L
P
Jumlah
L
P
Jumlah
1.
Desa Kilis
770
654
1.424
1.789
1.278
3.067
176
128
304
4.795
Jumlah
770
654
1.424
1.789
1.278
3.067
176
128
304
4.795
Sumber :   - Monografi Desa  Muara Kilis, 2012.


3.4. Sosial Ekonomi

3.4.1. Aksesibilitas Wilayah
Rencana areal kerja pertambangan batubara PT. CPN dapat dijangkau dengan perjalanan darat melalui jalan negara dengan kondisi badan jalan hot mix berkualitas baik mempergunakan kendaraan roda empat dari Kota Jambi menuju Desa Muara Kilis dengan waktu tempuh normal sekitar 4 jam. Sedangkan untuk mencapai lokasi dari Ibu Kota Kabupaten Tebo, kota Tebo tidak lebih dari 30 menit. Sementara itu aksesibilitas pencapaian lokasi relatif mudah, mengingat prasarana jalan yang cukup memadai kecuali pada saat musim penghujan hanya kendaraan tertentu yang masih bisa masuk ke lokasi.  Sarana perhubungan lainnya seperti jaringan telekomunikasi baik telepon umum maupun pribadi cukup memadai.

3.4.2. Pusat Kegiatan Perekonomian Terdekat
Muara Tebo sebagai Ibu Kota Kabupaten Tebo merupakan pusat perekonomian terdekat masyarakat  sekitar wilayah studi dengan telah tersedianya toko-toko, pasar, bank dan prasarana perekonomian lainnya, sehingga baik dari volume maupun jenis barang telah cukup memadai dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Aksesibilitas relatif mudah dicapai melalui jalan darat dengan tersedianya sarana transportasi umum.
3.4.3. Mata Pencaharian Penduduk
Sebagian besar masyarakat di sekitar rencana lokasi areal PT. CPN bermata pencaharian pola nafkah ganda dengan mata pencaharian utama bertani, yaitu sekitar 42,57 %. Mata pencaharian utama diartikan bahwa curahan waktu terbanyak dalam melakukan aktivitas rutin dan pokok untuk memperoleh penghasilan, sedangkan mata pencaharian tambahan berupa sisa waktu luang di luar kegiatan pokok yang dimanfaatkan untuk memperoleh penghasilan sampingan. Komoditas pertanian yang dikembangkan khususnya karet dan sawit merupakan jenis tanaman tahunan unggulan disamping hasil pertanian lainnya seperti palawija atau tanaman semusim lainnya. Jenis mata pencaharian masyarakat lainnya berupa pedagang, wirausaha, dan lain-lain sebagaimana disajikan pada Tabel 3.15.




Tabel 3.15.    Mata Pencaharian Utama Kepala Keluarga di Desa-desa di Sekitar Rencana Areal Kerja PT. CPN.

No
Kecamatan/ Desa
Mata Pencaharian
Tani
Swasta/ Wirausaha
Buruh Tani/Kebun
PNS/ABRI
Pedagang
Total
KK
KK
KK
KK
KK
KK
1.
Desa Kilis
364
30
305
51
106
856
Jumlah (%)
42.57
3.5
35.6
6
12.33
100
Sumber : Monografi Desa Tahun 2012.
















Gambar 3.11. Mata Pencaharian Utama Kepala Keluarga pada Desa-desa di Sekitar Rencana Areal Kerja PT. CPN
 





3.5. Sosial Budaya

3.5.1. Agama Penduduk

Masyarakat di sekitar rencana areal kerja PT. CPN mayoritas beragama Islam meskipun terdapat sebagian kecil yang memeluk agama lain seperti Kristen dan Hindu. Prasarana peribadatan di masing-masing desa cukup memadai dengan terdapatnya sarana masjid dan mushola. Toleransi antar umat beragama terjaga dengan baik sehingga tidak pernah terjadi adanya benturan-benturan sosial yang berkaitan dengan keagamaan mengingat masyarakat tergolong pemeluk agama yang taat.

3.5.2. Pendidikan Penduduk
Pada dasarnya, tingkat pendidikan masyarakat salah satunya terkait dengan ketersedi-aan prasarana dan sarana pendidikan yang terdapat di wilayah tersebut, disamping kemapanan sosial ekonomi dan animo masyarakat terhadap pentingnya pendidikan.
Fasilitas pendidikan yang tersedia di sekitar rencana areal kerja PT. CPN relatif cukup memadai, di setiap desa terdapat bangunan sekolah dasar (SD) dengan tenaga pengajar (guru) yang cukup. Sedangkan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan setingkat SLTP dan SLTA harus menempuh ke Tebo atau Rantau Api dengan aksesibilitas yang mudah dicapai melalui jalan darat.

Tabel 3.16.  Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Muara Kilis
No.
Pendidikan Terakhir
Jumlah
1.
SD (Sekolah Dasar)
643 Orang
2.
SMP (Sekolah Menengah Pertama)
251 Orang
3.
SMA (Sekolah Menengah Atas)
47 Orang
4.
Sarjana
11 Orang
5.
Tidak Sekolah
48 Orang











Gambar 3.12. Pendidikan terakhir penduduk Desa Muara Kilis
 



1.5.3.     Tatanan Kelembagaan dalam Masyarakat
Koentjaraningrat (1984), menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Polak dalam Kolopaking et al (2003), Kelembagaan sosial atau social institution adalah “ suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting”. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.
Kelembagaan formal masyarakat di sekitar lokasi kegiatan telah terbentuk sejak lama lengkap dengan lembaga-lembaga formal lainnya, antara lain LPM dan BPD.  Kelembagaan adat juga terbentuk sejak lama yang sangat berperan dalam membantu lajunya pemerintahan formal. Selain tokoh formal terdapat pula tokoh informal yang dituakan biasanya merupakan panutan masyarakat yang pengaruhnya cukup besar dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Tokoh informal ini terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya penunjukkan atau pemilihan khusus dan biasanya muncul berdasarkan pengakuan masyarakat yang tumbuh secara perlahan.
Peran tokoh informal sangat berpengaruh khususnya dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat karena keberadaannya dianggap sebagai panutan yang bersifat kekeluargaan atau kekerabatan. Keberadaan tokoh formal umumnya diangkat dan dipilih oleh masyarakat dan berasal pula dari kalangan tokoh informal, sehingga dalam aktivitas kesehariannya berperan ganda baik sebagai petugas pemerintahan maupun sebagai amanah/tugas kekerabatan dan adat istiadat masyarakat setempat.
Cukup banyak diantara tokoh informal merangkap sekaligus sebagai tokoh formal seperti kepala dusun, tergantung kehendak masyarakat yang menentukannya. Kondisi demikian sangat menguntungkan terutama dalam memberikan inovasi-inovasi baru maupun dalam penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul.
Adanya kelembagaan sosial tersebut berfungsi sebagai pedoman berperilaku kepada individu atau masyarakat, menjaga keutuhan sesama masyarakat, memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control), dan memenuhi kebutuhan pokok manusia atau masyarakat.

1.5.4.     Adat Istiadat
Adat istiadat masyarakat di sekitar areal umumnya telah mengalami pergeseran, meskipun terdapat kebiasaan-kebiasaan yang masih dipegang teguh khususnya yang berkaitan dengan keagamaan. Pergeseran tersebut diantaranya diakibatkan oleh cukup banyaknya masyarakat pendatang antara lain dari suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dll. Meskipun banyak suku pendatang di lingkungan sekitar areal, penduduk asli Jambi dapat hidup rukun tanpa adanya benturan-benturan sosial yang berarti. Banyak diantara masyarakat asli yang menikah dengan pendatang, sehingga kerukunan antar warga dapat terjalin dengan baik. Secara sepintas, cukup sulit membedakan mana penduduk asli dan masyarakat pendatang karena banyak diantara masyarakat penda-tang yang telah berdomisili lebih dari 10 tahun. Adat istiadat yang masih dipertahankan antara lain berkaitan dengan kelahiran bayi, kematian dan upacara pernikahan.

1.5.5.     Komunitas Masyarakat Adat
Jambi merupakan salah satu wilayah yang mempunyai masyarakat adat, beberapa kalangan menyebutnya dengan masyarakat Kubu, atau masyarakat anak dalam, atau Orang Rimba, namun yang lebih terdengar dalam kalangan masyarakat nasional adalah suku anak dalam yang terdabat di provinsi Jambi ini, dan keberadaannya tersebar di beberapa kabupatan yang ada.
Kabupaten Tebo merupakan salah satu area komunitas Suku Anak Dalam (SAD) khususnya yang terdapat di areal konservasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Terdapat tiga kelompok SAD di wilayah ini diantaranya yang dikenal juga dengan Suku Talang Mamak (Suku Kubu/Orang Rimba). Data yang ada menunjukkan terdapat 823 jiwa SAD di Kabupaten Tebo (Tabel 3.17).
Tabel 3.17. Jumlah SAD Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kabupaten
No.
Kabupaten/ Kota
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1
Sarolangun
537
558
1.095
2
Merangin
439
419
858
3
Batang Hari
40
39
79
4
Tanjung Jabung Barat
31
26
57
5
Tebo
420
403
823
6
Bungo
143
143
286

Jumlah
1.610
1.588
3.198
Sumber:      Website BPS Kabupaten Sarolangun,( 2011)




1.5.5.1.  Potret Suku Anak Dalam  
Desa Muara Kilis Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo termasuk  merupakan salah satu kawasan pemukiman Suku Anak Dalam. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial dan Transmigrasi bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten  Tebo sangat memperhatikan kehidupan Suku Anak Dalam (SAD). Hingga 2010 komunitas SAD sudah mendapatkan pembinaan hingga beberapa dari mereka sudah memiliki rumah yang tetap dan layak huni yang dibangun pemerintah di antaranya  di Sungai Inoman Desa Mara Kilis Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo. Pemukiman SAD yang dibangun oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia melaui Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Tahun 2010 terdiri atas 55 KK atau 161 warga Suku Anak Dalam.
Kehidupan komunitas SAD yang sudah mulai berinteraksi dengan masyarakat desa, pada umumnya adat istiadat mereka sudah mulai memudar karena sudah berasimilasi dengan masyarakat desa sering berinteraksi dengan masyarakat terdekat, kehidupannya tidak sepenuhnya tergantung dari hasil hutan, mereka sudah berladang, berkebun karet, sawit, dan sudah menerima pendidikan. Sebagian komunitas SAD  ini telah mengenal kehidupan modern, kelompok ini telah menggunakan busana lengkap, beberapa warga telah memiliki sepeda motor, HP, untuk bidang kesehatan warga SAD telah memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan pada Pustu, Puskesmas dan RSUD.
Komunitas Suku Anak yang hidup semi-nomaden, memiliki kebiasaan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal. Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa. Putusnya hubungan dengan peradaban di luar rimbalah yang membuat Orang Rimba selalu disebut kubu alias terbelakang, sedangkan kelompok lain lebih maju. Karena terputus hubungan dengan peradaban di luar rimba, cara hidup mereka kubu. Menurut mereka, seringkali orang terang (di luar rimba) mencemooh karena anggapan bahwa mereka bodoh, tidak beradab, dan kudisan. Meski demikian, mereka merasa nyaman, dan akan mempertahankan cara hidup seperti itu. “Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh,” Namun, Orang Rimba juga merasa terhina jika disebut-sebut kubu.

1.5.5.2.  Karakteristik Suku Anak Dalam
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang sebutan untuk masyarakat di desa. Mereka membuat seloka tentang orang terang : berpinang gayur/berumah tanggo/berdusun beralaman/beternak angso. Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat. Seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba: Bertubuh onggok/berpisang cangko//beratap tikai//berdinding baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu. Ada lagi: berkambing kijang//berkerbau tenu//bersapi ruso.
Aturan Rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Komunitas Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa. Mereka juga mempercayai roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mentera yang memiliki kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu.  Artinya: Mereka (Suku Anak Dalam) mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adatnya : Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.

1.5.5.3.  Mata Pencaharian Komunitas Suku Anak Dalam

Meramu adalah mencari dan mengumpulkan hasil hutan, seperti: getah melabui, getah jelutung, getah damar, getah jernang, dan rotan. Mereka menyebut kegiatan ini berkinang atau berimbo. Caranya dengan beranjau, yaitu berjalan-jalan atau melakukan pengembaraan. Menemukan sesuatu yang dicari, apakah itu getah melabui, getah jelutung, dan atau rotan adalah sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan tuah (keberuntungan). Hal itu disebabkan banyaknya jenis pohon, sehingga seringkali menutupi pohon yang dicari (tidak terlihat). Relatif sulit dan atau mudahnya menemukannya itulah yang kemudian membuahkan adanya semacam kepercayaan bahwa pohon-pohon tersebut mempunyai kekuatan gaib.
Berkinang atau berimbo biasanya dilakukan secara berkelompok (lebih dari satu orang) dan biasanya dilakukan oleh laki-laki. apabila di dalam hutan ada yang terpisah atau tertinggal, maka orang yang ada di depan akan memberi tanda dengan menancapkan sebatang kayu yang pada bagian atasnya dibelah dan diselipkan ranting atau saat ini kulit rokok. Pangkal ranting diarahkan ke suatu tempat yang akan dituju. Dengan demikian, orang yang ada di belakangnya akan tahu persis kemana harus menyusulnya. Jika ranting itu tidak disisakan daunnya, maka penyelipannya dilakukan agak miring ke atas. Bagian pangkal ranting yang miring ke atas itulah yang memberi petunjuk ke arah mana seseorang harus menyusulnya.
Cara yang mereka lakukan dalam mengambil atau mengumpulkan berbagai macam getah tidak jauh berbeda dengan pengumpulan getah karet, yaitu ditoreh sedemikian rupa sehingga getahnya keluar dan ditampung pada suatu tempat (biasanya tempurung kelapa). Sedangkan, cara mereka mengambil rotan adalah dengan menariknya. Dalam hal ini batang rotan yang telah dipotong pangkalnya ditarik melalui cabang pepohonan. Ini dimaksudkan agar ruas dan cabang-cabang kecilnya tertinggal atau jatuh karena tergesek cabang pepohonan, sehingga tidak banyak tenaga yang harus dikeluarkan pada saat membersihkannya.

B.    Berburu
         Senjata yang mereka gunakan dalam berburu adalah tombak. Ada dua jenis tombak yang mereka miliki. Pertama, tombak yang panjangnya kurang lebih setinggi orang dewasa dan bagian mata tombaknya ber-berangko (diberi sarung). Tombak jenis ini oleh mereka disebut kujur berongsong. Cara menggunakannya adalah dengan memegang bagian tengahnya, kemudian dilemparkan (dengan satu tangan) ke sasaran. Kedua, tombak yang panjangnya hampir mencapai 3 meter. Di ujung tombak ini ada semacam pisau yang runcing yang kedua sisinya tajam (bentuknya lebih lebar dan lebih pendek daripada tombak jenis yang pertama). Cara mempergunakannya adalah tangan kanan memegang pangkalnya, kemudian tangan kiri menopangnya, baru dilemparkan ke arah sasaran (arahnya selalu ke arah kiri). Kedua jenis tombak tersebut matanya terbuat dari logam (besi) dan batangnya terbuat dari kayu tepis. Kayu ini disamping berserat, tetapi juga keras dan lurus, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai batang tombak. Tombak biasanya digunakan berburu nangku (babi hutan), kera, rusa (kancil), napu, kijang (menjangan). Sebagai catatan, binatang-binatang tersebut terkadang ditangkap dengan cara penjeratan. Untuk berburu berbagai binatang tersebut biasanya mereka pergi daerah-daerah sumber air, karena kawanan binatang biasanya berdatangan kesana untuk suban (minum).
Selain tombak mereka juga menggunakan batang pohon yang berukuran sedang dan berat (garis tengahnya kurang lebih 30 cm), khususnya untuk menangkap gajah. Batang pohon tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 10 meter, kemudian salah satu ujungnya diruncingi. Sedangkan, ujung lainnya diikat dengan rotan. Selanjutnya, digantung diantara pohon yang besar dengan posisi bagian yang runcing ada di bawah, dengan ketinggian kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Rotan yang digunakan untuk mengikat salah satu ujung batang tadi dibiarkan menjulur sampai ke tanah. Maksudnya, jika ada gajah yang menginjak atau menariknya, maka gajah tersebut akan tertimpa atau kejatuhan batang kayu yang runcing itu. Sistem ini juga digunakan untuk menangkap harimau. Oleh karena itu, perangkap ini ditempatkan pada daerah yang biasa dilalui oleh gajah dan atau harimau. Perangkap ini oleh mereka disebut pencebung. Gajah juga dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap yang berupa lubang yang cukup dalam dan ditutup dengan ranting serta daun-daunan. Sementara, untuk menangkap badak, mereka membuat parit yang panjangnya 10--15 rentangan tangan orang dewasa (depa). Parit yang lebarnya kurang lebih 1 meter ini semakin ke ujung semakin dalam (kurang lebih setinggi manusia dewasa). Dengan demikian, jika ada badak yang memasukinya, maka ia akan terperangkap karena tidak dapat meloncat atau berbalik.
Kemampuan dan ketrampilan Orang Rimba berburu berlanjut hingga kini. Pada beberapa tempat di wilayah Napal Putih dijumpai beberapa kelompok Orang Rimba dengan menenteng senjata rakitan ”kecepek” berburu babi. Menurut keterangan warga, komunitas ini merupakan Orang Rimba yang berasal dari Bungo, dipekerjakan oleh seseorang pemilik modal untuk berburu babi guna diambil dagingnya untuk dijual.

Kegiatan lainnya yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup adalah menangkap berbagai jenis ikan, termasuk udang dan ketam di sungai, dengan peralatan: pancing, jala, tombak, perangkap ikan (kubu-kubu), dan pagar-pagar ikan. Terkadang mereka nubo, yaitu menggunakan racun dari akar-akar nubo. Caranya akar-akar tersebut dimasukkan ke sungai, maka ikan akan mabuk dan terapung. Dengan demikian, tinggal mengambil dan memasukkannya ke sebuah wadah yang disebut dukung atau ambung.

Sistem perladangan yang diterapkan oleh Orang Rimba adalah berpindah-pindah. Ada 3 faktor yang menyebabkan mereka melakukan perpindahan, yaitu: pergantian musim, semakin langkanya binatang buruan dan hasil sumber hutan lainnya, dan semakin tidak suburnya tanah garapan. Selain itu, kematian juga merupakan faktor yang pada gilirannya membuat mereka berpindah tempat. Hal ini yang erat dengan kepercayaan bahwa kematian adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kesialan bagi kelompoknya. Untuk menghindari hal itu, maka mereka melakukan perpindahan. Dan, perpindahan yang disebabkan oleh adanya kematian disebut ”melangun”.
Berladang adalah suatu proses. Sebagai suatu proses maka mesti dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Ada empat tahap yang mereka lalui dalam penggarapan sebuah ladang. Tahap yang pertama adalah pembukaan ladang.
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi penebasan pepohonan kecil, semak belukar, dan mengumpulkan tebasan ke tengah areal yang akan dijadikan sebagai ladang. Kemudian, membiarkannya selama kurang lebih dua minggu (14 hari) agar tebasan menjadi kering. Oleh karena itu, tahap yang pertama ini sering disebut sebagai menebas.
Tahap yang kedua adalah penebangan pepohonan. Peralatan yang digunakan hanya berupa parang dan beliung. Jika pohon yang akan ditebang relatif besar, maka penebangan dilakukan pada bagian atas pohon dengan yang lingkarannya relatif lebih kecil ketimbang bagian bawah pohon. Caranya adalah dengan mendirikan semacam panggung, sehingga mudah melakukannya. Jika pohonnya sedang-sedang saja, maka penebangannya cukup berdiri di atas tanah. Penebangan berbagai pohon, baik besar maupun sedang, tidak sampai pada pangkalnya, karena disamping tentunya pangkal batangnya lebih besar, tetapi yang lebih penting menurut kepercayaan mereka hal itu tidak boleh dilakukan (dilarang nenek moyang). Makna simbolik yang ada dibalik larangan itu adalah kelestarian. Artinya, apa saja yang ada di hutan tidak boleh dihabiskan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tonggak-tonggak batang pohon mewarnai ladang mereka. Pohon-pohon yang telah tumbang pada saatnya akan dibakar bersama semak belukar. Pembakaran tersebut bertujuan disamping agar tidak mengganggu tahap berikutnya, tetapi yang lebih penting adalah abunya dapat lebih menyuburkan lahan.
Tahap yang ketiga adalah penanaman bibit. Sistem yang digunakan adalah tugal, dengan cara dua atau tiga orang laki-laki memegang sebatang kayu kecil yang kira-kira panjangnya 1,5 meter yang salah satu ujungnya runcing. Dengan tongkat itu mereka bergerak ke depan, membuat lubang-lubang yang dangkal. Sementara, dengan jumlah yang sama, perempuan mengikutinya sambil menebarkan bibit. Setiap lubang kurang lebih berisi 4-5 butir bibit. Sedangkan, anak-anak bertugas menutup lubang-lubang yang telah terisi oleh bibit. Jika segala sesuatunya lancar (setelah penanaman ada hujan), maka maka bibit tersebut akan tumbuh dalam waktu 4 atau 5 hari, sehingga 6 minggu kemudian, mereka dapat melakukan penyiangan (membersihkan rerumputan yang mengganggunya). Penyiangan dilakukan lagi pada bulan kedua. Dan, pondok ladang pun didirikan untuk menjaga tanaman dari berbagai serangan binatang liar atau burung.
Tahap keempat (terakhir) adalah menuai. Tahap ini dilakukan setelah padi menguning (kurang lebih setelah berumur 5 bulan). Caranya, padi yang telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang disebut tuai (ani-ani). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Sebelum disimpan dalam lubung, padi tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa tahan lama (pepeng).

Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
(a)          Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat.
(b)          Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika
             berhalangan
(c)          Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung
(d)          Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
(e)          Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adat
(f)           Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adat
(g)          Debalang Batin, Pengawal Tumenggung
(h)          Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi  
            sidang adat dan dapat membatalkan keputusan
Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak bersifat mutlak. Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian besar menyetujui maka orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan melalui pertemuan adat dalam suatu upacara.
Jabatan Tumenggung yang terlihat punya kekuasaan cukup besarpun masih dibatasi oleh beberapa jabatan lain seperti jabatan Tengganas yang mampu membatalkan keputusan Tumenggung. Ini menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam telah mengenal suasana demokrasi secara sehat.


1.5.5.5.  Persepsi dan Kepercayaan Komunitas Suku Anak Dalam tentang Hutan.
Hutan diistilahkan oleh mereka dengan rimba/ rimbo. Konsep mereka “idup awak begantung jan rimbo” menunjukan bahwa hidup mereka tidak dapat dipisahkan dengan rimba. Masyarakat SAD hingga kini sebagian besar masih menganut faham animisme yang percaya pada roh-roh yang berasal dari hutan, air, gunung, tanah, langit, binatang, kayu-kayuan dan lain-lain yang dapat memberikan keberuntungan dan keselamatan jiwa. Mereka juga percata bahwa hutan, bukit/gunung, tanah dan langit dan lain-lain ada penunggunya seperti : hantu, dukun hantu, dewa/hantu tanah, jumalang tanah, jin setan, bandan, batak biota, mambang peri, beruang langit, datok, ninik datok dan lain-lain. Karena itu pula, masyarakat tradicional ini menjaga dan melestarikan sebagian hutan bahkan memujanya.
Komunitas ini juga memiliki norma-norma yang mengatur bahwa ada hutan yang dapat dibuka dan tidak dapat dibuka. Kaitannya dengan lingkungan, hutan-hutan yang dianggap keramat sebenarnya berfungsi untuk mencegah banjir jika musim hujan dan kekeringan jika musim kemarau dan juga tempat reproduksinya berbagai hewan yang sebagian merupakan sumber protein bagi mereka. Kaitannya dengan ekonomi, sosial dan budaya bahwa hutan nerupakan sumber mata pencaharian, tempat bersemayamnya roh-roh, jin, setan, hantu, tempat meminta penyembuhan penyakit dan  kedamaian hidup.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranok-on, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumberdaya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang , ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor.
Belukor disini meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka yang diantaranya adalah durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranok-on. Tanah peranok-on merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun., karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi/anaknya. Tanoh peranok-on yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.  Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka.
PT. CPN yang mengarah ke wilayah HP. Mereka hidup dari usahatani berkebun karet, meskipun masih bersifat tradisional s/d semi intensif. Meskipun kebiasaan hidupnya masih bersifat nomaden, namun sudah mulai mengarah kepada ke gaya hidup menetap dengan membuat tempat pemukiman yang sederhana.
Pada dasarnya suku anak dalam tersebut telah bersosialisasi dan beirnteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Dalam kegiatannya,  PT. CPN senantiasa akan melindungi dan membina masyarakat suku anak dalam tersebut, karena merupakan salah satu bagian dari pengelolaan lingkungan disamping juga mata pencahariannya sepenuhnya tergantung dari lahan usahatani yang ada.  Pembinaan suku anak dalam diantaranya dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat (CD) melalui program-program corporate social responsibility (CSR), yaitu berupa salah satu program tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya. Di dalam areal ini tidak ditemukan adanya situs-situs budaya atau sisa peninggalan sejarah masa lalu.

1.5.6.     Hak Ulayat
Masyarakat di sekitar areal mangakui adanya hak-hak atas tanah di sekitar wilayahnya termasuk areal yang ada di dalam wilayah konsesi PT. CPN, namun bukan berarti hak atas tanah tersebut berupa hak ulayat yang dikuasai secara umum dan diatur secara adat. Hak atas tanah yang ada berupa tanah keluarga atau tanah warisan dari generasi terdahulu yang statusnya hanya bisa dipindahtangankan dengan cara tertentu antara lain dengan dijual beli.
Apabila lahan yang telah dibuka dan ditanami, kemudian ditinggalkan menjadi belukar, tidak dapat diambil alih begitu saja secara langsung oleh pihak lain. Jika ada pihak lain baik perorangan maupun badan hukum tertentu yang akan menggunakan lahan tersebut untuk dikelola, maka kedudukannya sebagai peminjam atau dengan cara-cara tertentu melalui kesepakatan misalnya diganti rugi, bagi hasil atau kerja sama tertentu maupun melalui kompensasi lainnya. Sedangkan hak ulayat yang dimaksud oleh masyarakat setempat adalah hak atas lahan termasuk kawasan hutan yang dikuasai oleh masyarakat, sehingga apabila akan dilakukan kegiatan usaha atau dikelola maka harus melalui ijin kepada pemerintahan formal desa maupun kepada tokoh informal masyarakat setempat dengan kesepakatan sistem kompensasi tertentu antara masyarakat dengan pengelola atau perusahaan.

1.5.7.     Struktur Sosial
Mengacu pada defenisi David B. Gruskay (dalam Outwaite, 2008), pembahasan struktur sosial dipusatkan pada hubungan antar orang-orang dan susunan keoranisasian orang-orang (masyarakat) tersebut. baik antara orang rimba (suku anak dalam) dengan masyarakat desa, pemerintah juga pihak perusahaan batu bara yang nanti akan memanfaatkan sumberdayanya tersebut. juga yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana peranan (hubungan) dengan Akademisi serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di tingkat Kecamatan maupun tingkan kabupaten-Provinsi.
Sehingga terjadinya interaksi sosial yang diawali oleh para pemimpin atau orang yang sangat berpengaruh. Menurut Kartodirdjo (1984), akibat interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan faktor situasional akan menghasilkan pemimpin. Secara terperinci lagi bahwa kepemimpinan adalah pertemuan antar  berbagai faktor yang diantaranya adalah : (1) Sifat golongannya, (2) Kepribadian dan (3) Situasi atau kejadian. Ketiga faktor itu menunjukan sifat multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologis, sosiologis-antropologis, dan sosial-historis.
Suatu struktur sosial pada dasarnya adalah hubungan dua pihak atau dyadic relationship yang dapat diamati oleh pihak-pihak yang berinteraksi (mereka yang bertutur makna atau berkomunikasi) maupun pihak yang tidak terlibat didalamnya (apa yang diamati dari relasi tersebut diamakan interaksi). Bila hubungan dyadic melibatkan pihak ketiga, maka hubungan itu akan meningkat menjadi hubungan triadic dan seterusnya hingga menjadi hubungan poliadic yang meluas menjadi struktur yang lebih kompleks. Integrasi yang kuat antara komunikasi dan interaksi memungkinkan terbentuknya struktur sosial yang kuat (Utomo dan Murtanto, 2003). Soekanto (1995) menyimpulkan bahwa struktur sosial merupakan jaringan unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur tersebut mencakup kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang.

a.  Struktur Komunal
Penduduk di sekitar areal mayoritas bermata pencaharian utama dari bertani, baik bertani tanaman keras seperti karet/sawit maupun tanaman semusim seperti palawija dan padi ladang. Maka dengan kondisi tersebut, sebagian besar penduduk mempunyai profesi sebagai petani, sehingga secara struktural sudah merupakan keharusan bahwa posisi petani dalam sektor pertanian menjadi fokus utama dalam pengambilan kebijakan. Namun meskipun sektor pertanian mendominasi masyarakat di sekitar areal, kondisi sosialnya masih menunjukan struktur masyarakat komunal. Umumnya masyarakat di sekitar areal studi masih mencerminkan kesatuan masyarakat yang relatif kecil dan cenderung homogen yang ditandai oleh pembagian kerja yang minimal, hubungan sosialnya masih bersifat primer dan terikat cukup kuat oleh tradisi atau kebiasaan adat budaya dengan norma lokalnya. Hubungan sosial yang ada di masyarakat cenderung bercorakkan atas dasar ikatan ketetanggaan, kekerabatan, keagamaan dan kekuasaan atau budaya ketimbang corak dalam struktur pasar.
Sistem pola pertanian masyarakat di sekitar areal sudah mulai berkembang kearah pertanian intensif. Demikian pula di bidang pemerintahan dan pembangunan, sudah mulai menampakkan pengaruh dalam pengaturan sumber daya.

b.  Pelapisan Sosial
Pola hubungan sosial masyarakat pada desa-desa di sekitar areal menggambarkan jalinan patron-klien yang relatif tidak begitu dominan, terkait dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan potensi yang dimilikinya untuk mengakomodir perlindungan kepada seseorang yang berstatus lebih rendah (klien).
Dari segi ekonomi keluarga berdasarkan parameter pendapatan, menunjukkan bahwa hampir tidak terjadi kesenjangan yang dominan yang menggolongkan status kaya dan miskin, kecuali di Kelurahan Kampung Baru, Simpang Terusan dan Sridadi yang sudah mulai menampakkan kearah tersebut. Meskipun demikian dalam pola hubungan sosial budaya, patron-klien di desa-desa sekitar areal masih cukup kental, dimana hubungan sosial budaya demikian dari perspektif ilmu sosial biasa disebut dengan budaya paternalistik.
Peran tokoh baik formal maupun informal/elite dalam masyarakat desa adalah sangat dominan dalam hubungan sosial maupun dalam ranah politik yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dalam pemerintahan desa maupun kemasyarakatan.  Elite tersebut diantaranya elite adat, agama, pemerintahan dan kaum intelektual.  Sedangkan elite ekonomi meskipun belum muncul, namun sudah mulai menampakkan kearah tersebut.






1.5.3. Persepsi Masyarakat
            Pada umumnya bahwa masyarakat menilai postitif terhadap pemanfaatan sumberdaya alam (eksploitasi batu bara) di wilayahnya karena di samping akan menambah mafkah rumah tangga karena bisa membuka kran sumber-sumber nafkah baru seperti jualan kelontong di pinggir perusahaan atau kantin yang tentunya harus di tata oleh pihak perushaan nantinya agar nilai estetika itu ada.
            Ketika TIM AMDAL melaksanakan shering pendapat dengan masyarakat di Desa Kilis, masyarakat meminta agar nantinya di buatkan jalan beraspal (pengerasan) serta tidak terjadi polusi udara yang di akibatkan oleh Dump_truk yang keluar masuk perusahaan yang umumnya melintasi perumahan masyarakat.
Serta tidak lupa mengutamakan tenaga lokal dalam menerima karyawan di perusahaan nantinya. Terjalinnya komunikasi antara desa-suku anak dalam-perusahaan yang tentunya di pasilitasi oleh pemerintah harus terus dijaga agar segala keinginan dan harapan kedua-belah pihak tidak tersumbat.

1.6.     Komponen Kesehatan Masyarakat

a.  Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah masalah yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan, menyangkut masalah penyediaan air bersih masalah sampah dan pembuangan tinja. Sanitasi lingkungan berkaitan masalah pemukiman, penggunaan air, dan pembuangan limbah rumah tangga. Pembuangan air dari berbagai sumber mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan. Air adalah mutlak untuk kehidupan. Jika kualitas airnya tidak diperhatikan, maka air dapat menjadi penyebab penyakit. Banyak penyakit menular bersumber pada air adalah Typhoid, disentri, dan kolera. Penyakit lain yang disebabkan atau melalui air, misalnya penyakit jamur, cacing perut, radang mata, dan lain-lain. Keperluan akan air di desa-desa sekitar lokasi pada umumnya dicukupi dari air sumur.
b.  Angka Kesakitan
Penyakit yang sering di derita masyarakat di sekitar lokasi, umumnya berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat itu sendiri. Selain gangguan pada pencernaan (diare/disentri), penyakit kulit, Demam, Infeksi Saluran Pernafasan juga banyak penderita penyakit malaria.  Kondisi ini memungkinkan sekali mengingat lingkungan masyarakat sekitarnya yang berdekatan dengan genangan air termasuk sungai atau daratan tergenang.
c.   Pelayanan Kesehatan
Pada dasarnya prasarana kesehatan di desa-desa  sekitar areal pembangunan pertambangan batubara PT. CPN relatif cukup memadai dengan telah terdapatnya Puskesmas dan  Puskesmas Pembantu. Tabel 2.27. menyajikan banyaknya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di desa-desa sekitar lokasi kegiatan.

1.7.     Komponen Ruang dan Transportasi

3.7.1.   Tataguna Lahan      


Berdasarkan Peta PenggunaanLahan yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal, penggunaan lahan di lokasi kegiatan sebagian besar adalah lahan kebun campuran rakyat, kebun karet dan sebagian kecil merupakan belukar/hutan.  Di areal rencana kegiatan Pilot Mine Area, sebagian besar penggunaan lahan adalah merupakan Kebun Campuran Rakyat dan Kebun Karet Rakyat yang telah dikelola secara semi intensif. Dari total luas desa 2.250 ha seluas 1.791ha (80 %) merupakan kebun campuran rakyatdan 380 ha (17%) merupakan kebun karet serta 78,5 ha (3%)  merupakan belukar, (lihat lampiran Peta Penggunaan Lahan).  Peta Penggunaan lahan wilayah studi pada Tahun 2012 disajikan pada Gambar 3.14.
       Tabel 3.17. Penggunaan Lahan Di Areal Konsesi PT.CPN
No
Tata Guna Lahan
Luas
%
1
Belukar
78,575
3%
2
Kebun campur rakyat
1.791,293
80%
3
Perkebunan karet perusahan
380,132
17%


2.250,000
100%